"Kita.. bubaran aja ya" ucapnya, tanpa memandangku.


AmnesiA (girl's ver.)


Hari ini lagi-lagi dia mengajakku keluar. Kali ini alasannya karena ingin mencoba es krim baru disalah satu mall. Sebulan terakhir ini, dia sering mengajakku pergi dengan alasan aneh. Hanya ingin nyoba makan ini, ingin mampir ke sana, dan yang lebih konyol lagi minta ditemani beli sampo di depan kosnya. Padahal jarak kosnya dan rumahku cukup jauh. Terkadang aku berpikir kalau ada sesuatu yang ingin disampaikannya.

"Gimana, enak ga?" tanyanya sambil melap sendok es dengan tisu. Dia punya kebiasaan selalu melap sendok atau garpu yang mau dipakainya.

"Iya, enak kok" aku tersenyum dengan ekspresi ngilu di mulut. "Porsinya kebanyakan. Harusnya pesen satu aja.."

"Hahaha dingin ya?" dia mencoba mengejekku tapi memasang wajah yang serupa denganku. "Iya ya, porsinya banyak.. tapi enak nih durennya"

"Eh, ini aku ganti duitnya" aku mengeluarkan uang dari dompet, "dari kemarin dibayarin kamu terus"

Dia menolak. "Gapapa. Kan yang ngajakin juga aku. Jadi aku yang bayar" dia tersenyum.

Dasar. Aku menaruh kembali uang ke dalam dompet. Uang jajanku utuh. Lalu menghabiskan es krim yang mulai mencair. Sesekali melihatnya yang memasang wajah aneh. Kamu kira aku ga tau ya. Padahal di dompetmu udah ga ada uang, tapi masih ngajak aku pergi. Mau sok keren? Aku menghela napas. Akhir-akhir ini, meski bersamaku, dia terlihat tidak gembira. Apa yang kamu rencanain?


"Habis ini mau kemana?" tanyaku. Kami meninggalkan cafe tersebut.

"Kemana ya? Pulang aja yuk, udah sore" sarannya.

"Kamu ngajaknya kesorean sih.. Yaudah ayo pulang" aku menarik tangannya. Padahal aku masih ingin lebih lama dengannya, tapi aku harus sudah ada di rumah sebelum pukul 5 sore. Sebelum mama pulang kerja.

"Tunggu.." katanya. Dia tiba-tiba berhenti berjalan, membuatku tertarik ke belakang. Aku menoleh bermaksud mengomelinya tapi dia mendahuluiku berbicara. "Ada hal yang ingin kusampaikan..."

"Apa?" Ternyata benar, ada sesuatu. "Ngomongnya di rumah aja yaa.." pintaku, "biasanya juga ngobrol di rumah"

Dia tidak menjawab. Hanya diam. Kalau diperhatikan dia seperti tidak sengaja menelan bakso granat dan berusaha mengeluarkannya. Susah. Mungkin yang ingin dikatakannya sesusah itu?

"Ada apa?" tanyaku. Diam seperti ini membingungkan.

"Begini.." dia memulai, "kita.. bubaran aja ya".

Eh? Aku salah dengar ya? Aku menunggu beberapa saat untuk mendengar bahwa dia tidak benar-benar mengatakan itu. Menunggu dia berkata "becanda ah" sambil tertawa. Tapi sepertinya dia memang mengatakan hal itu dengan serius.

"Kenapa? Aku melukaimu?" tanyaku. Apa gara-gara tadi? Gara-gara aku mau gantiin duitnya? Masa gara-gara itu? Cowok tersakiti gara-gara itu?

Dia menggeleng. "Kamu ga salah apa-apa kok. Aku cuma mau konsen ke skripsi aja"

Aku memasang wajah datar. Kamu kira kita anak SMP? "Cuma gara-gara itu?"

Dia mengangguk tidak yakin. Aku menatapnya tajam. Aku tahu ada hal yang disembunyikannya. Wajahnya mulai gelisah karena ditatap seperti itu. Bilang saja alasannya itu, aku bisa maklum kok.

"Cuma itu kok alasannya" akhirnya dia tetap mengatakan itu. Dia seperti tidak punya jawaban lain selain itu.

Bodoh. Kenapa alasannya harus itu. Aku tidak terlalu terkejut dengan ucapannya. Sudah beberapa laki-laki yang mengatakan hal itu dengan alasan yang sama. Tapi baru kali ada yang mengucapkan 'bubaran', bukan 'putus'. Dan alasannya pun tidak masuk akal. Yang sebelumnya selalu mengatakan kalau alasannya adalah karena ibuku. Kalau saja dia mengatakan alasannya karena ibuku, aku akan maklum. Tapi ini.... karena skripsi?

Haaah. Yang ini pun gagal? Padahal aku sudah merasa nyaman. Kenapa rasanya sakit? Berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya.

"Yaudah... terserah kamu! Dasar bodoh! Jelek! Bauu!" aku pergi dari hadapannya. Tidak ingin terlihat lemah gara-gara menangis. Aku mempercepat langkah begitu tahu dia menyusulku.

"Mau kemana? Aku anterin pulang" ajaknya dengan meraih tanganku.

Aku langsung menghentakkan tangan agar tangannya terlepas dariku. "Aku bisa pulang sendiri!". Akhirnya aku memperlihatkan wajah lemah seorang perempuan. Setelah memberikan tatapan kekecewaan, aku pergi meninggalkannya berdiri seperti orang bersalah.

Semoga ada taksi yang kosong. Aku berlari ke pinggir jalan. Karena pandangan kabur, aku tidak melihat ada mobil yang datang kearahku. Ah, ramalan hari ini.... jangan menolak kebaikan orang lain.



Aku membuka mata perlahan. Seorang laki-laki sedang memandangku dengan ekspresi lega dan panik. Dia tersenyum sedih.

"Anda siapa?" tanyaku perlahan. Aku merasa tidak mengenalinya. Tapi tatapannya penuh kasih sayang.

"Aku, kebetulan aku yang membawamu kemari" lagi-lagi dia tersenyum sedih.

Kenapa dia tersenyum seperti itu? Apa yang membuatnya sedih?

"Aku kenapa? Ini dimana?"

"Tadi kamu keserempet mobil. Sekarang di rumah sakit. Aku sudah menghubungi mamamu" dia masih tersenyum, suaranya serak tertahan.

Keserempet mobil? Aku tidak bisa ingat apa-apa. Kenapa ini? Kepalaku sakit.

"Terima kasih" aku tersenyum padanya.

Terdengar suara langkah kaki beberapa orang dari luar. Semakin lama semakin mendekat. Suara isak tangis menyertai.

"Sepertinya itu keluargamu" dia mengambil tasnya, membenarkan kursi. "Aku harus pergi. Cepat sembuh ya..." kali ini dia tersenyum normal. Dia mengelus kepalaku dan merapikan posisi selimut agar menutupi sebagian tubuhku. Lalu dia pergi sambil melambaikan tangan.

Siapa dia?

Setelah kepergian laki-laki itu, datang beberapa orang yang tetap tidak aku kenal. Dua orang wanita yang menangis, seorang wanita berbaju putih, dan seorang pria kantoran. Salah seorang wanita yang menangis lari menghampiriku dan memelukku.

"Dianaaa... kamu gapapa?"

Diana? Siapa itu?

"Diana? Siapa?" tanyaku.

Wanita itu semakin menangis. Siapa dia? Kenapa menangisiku seperti itu?

"Suster bilang kalau kamu kena amnesia. Ini mama, nak. Kamu Diana" wanita yang mengaku sebagai ibuku itu menjelaskan.

"Aku.. Diana?" wanita itu mengangguk, "mama?" wanita itu mengangguk lagi saat aku menunjuknya.

Wanita yang aku ketahui sebagai mama itu berbicara dengan suster. Meski bisik-bisik, aku masih bisa mendengarnya. Mereka membicarakan tentang laki-laki yang menolongku. Laki-laki yang tadikah? Aku lupa menanyakan namanya.

"Yang menolong anak ibu memang laki-laki. Tadi banyak laki-laki yang datang kemari waktu anak ibu dibawa kemari" cerita suster.

"Apa ada anak laki-laki seumuran dengan anak saya?" tanya mama seperti menginterogasi.

"Maaf ibu, tapi semuanya rata-rata seumuran dengan anak ibu"

"Berarti bukan --dri" mama memelankan suaranya.

"Maaf, ibu barusan ngomong apa?"

"Tidak, bukan apa-apa. Kira-kira dia bisa ingat lagi? Bisa sembuh?"

Mereka mulai berbicara panjang lebar. Aku tidak bisa mendengarnya lagi. Kepalaku rasanya penuh. Terlalu banyak informasi yang masuk. Mungkin aku harus istirahat. Terima kasih laki-laki sedih.

===

Sesaat setelah keluar dari kamarku...
"Dia baik-baik sajakan? Aduh ga keliatan" dia bersembunyi sambil memperhatikan dari tempat lain.