Friday, 8 November 2013

Dia berdiri memunggungiku. Siapa?

Siapa Disana?

Sesekali mainlah ketempat kakakmu.
Sms yang dikirim ibu kepadaku 3 hari yang lalu masih teringat di kepalaku. Meski pun sms itu sudah aku hapus dari inbox. Tapi setiap kali ibu menelponku, kalimat itu selalu meluncur di akhir sebelum telpon ditutup.
Aku kuliah di kota yang sama dengan tempat kakak perempuanku bekerja. Awalnya kakak perempuanku menawariku untuk tinggal bersama dengannya di kontrakannya. Dia tidak tinggal sendiri. Ada 3 orang seusianya yang tinggal bersamanya.

Setelah pulang kuliah, aku datang mengunjungi kakak perempuanku. Untungnya hari ini dia pulang kerja lebih awal. Aku sampai di kontrakannya sekitar pukul 4 sore. Hanya ada sepeda motor milik kakak perempuanku di garasi. Aku memarkir motor kesayanganku di sebelah motornya.

Kontrakan kakak perempuanku cukup besar. Ada 4 buah kamar tidur di dalamnya. Semua perabotan dan peralatan dapur telah disediakan oleh si pemilik. Ini kali kedua aku datang kemari.

Langit yang mendung, bahkan gelap, membuat lampu jalan dinyalakan lebih awal. Salah satu lampu jalan terletak persis di depan kontrakan kakak perempuanku. Sehingga rumah kontrakan yang ada di depanku, yang lampunya masih mati, terlihat tidak begitu menyeramkan.

Lampu dari dalam ruangan mulai menyala satu per satu. Begitu pun dengan lampu teras. Lampu berwarna putih itu menempel di plafon teras. Meskipun terang, ada kesan redup. Sesekali lampu itu berkedip-kedip kemudian mati. Dan akan menyala kembali setelah beberapa saat. Apa tidak diganti? Kemudian terdengar suara langkah kaki mendekati pintu. Kakak perempuanku yang terbalut baju mandi berdiri di seberang.

"kakak!" teriakku terkejut. Meski badannya belum basah, tapi wajah dan rambutnya sudah terkena air.

"aku lagi mandi. Kamu nunggu di kamar aja ya" katanya kemudian lari kembali masuk ke dalam kamar mandi.

Aku melepas sepatu. Kulihat langit mulai menjatuhkan kesedihannya. Semoga cepat reda, pikirku. Titik-titik hujan membasahi teras. Angin yang datang bersama hujan mengarah ke teras, membuat sepatuku basah. Sebelum benar-benar basah aku mengangkatnya. Menaruhnya di dalam. Aku menutup pintu depan.

Ruang tamu. Satu kursi empuk panjang untuk 4 orang, dan 2 kursi kecil untuk 1 orang. Sebuah meja panjang sepanjang kursi panjang. Beberapa toples tanpa isi berdiri malas diatasnya. Lukisan beberapa kuda yang sedang lari menggantung di belakang kursi panjang. Tidak ada yang berubah dari 2 tahun yang lalu.

Ada sebuah tembok yang membagi antara ruang tamu dan ruang menonton televisi. Aku berjalan menuju sebuah televisi berukuran 21 inch. Masih menyala dan menampilkan acara komedi. Di bagian kanan ada 2 kamar berukuran 4 x 3 meter, yang salah satunya kamar kakak perempuanku. Kemudian ada dapur yang menjorok ke dalam. Di bagian kiri ada sebuah kamar berukuran sama yang sedang ditinggal penghuninya. Di sebelahnya -di depan kamar kakakku- sebuah kamar mandi kecil, yang saat ini sedang digunakan oleh kakakku. Ada sebuah kamar yang tidak digunakan, tepat di depan dapur. Seandainya aku dulu mengiyakan permintaan kakak untuk tinggal disini, kamar itu milikku. Karena tidak ada yang mau menggunakannya, kamar itu menjadi tempat sholat. Tapi ntah sejak kapan kamar itu berubah jadi gudang.

Aku masuk ke dalam kamar kakak. Menaruh tas dan duduk di atas tempat tidur. Aku hanya mendengar suara tawa dari acara komedi di televisi, dan suara hujan yang membentur seng penutup tempat jemuran. Dari kamar kakak, tempat jemuran dapat terlihat jelas. Jendela kamar yang dipilih kakak langsung menghadap ke tempat jemuran. Di dekat jendela ada rak buku bertumpuk yang berisi buku koleksi kakak. Semua tertata dengan rapi. Untuk mengambilnya saja butuh tenaga.

Aku tiduran di atas kasur. Memainkan handphone. Kudengar kakak perempuanku sudah selesai mandi. Acara komedi di televisi berubah menjadi acara gosip. Aku meregangkan badan. BRUK! Aku menoleh. Buku-buku di rak buku kakak jatuh berhamburan.

Angin? Atau tanganku? Aku tidak merasa tanganku mengenai rak buku ketika meregangkan badan tadi. Anginkah? Aku melihat jendela. Tertutup. Bahkan korden tipis itu pun tidak menunjukkan adanya angin yang lewat. Siapa disana? Terlihat punggung seseorang dibalik jendela. "kaaak?" panggilku memastikan.

"kenapaa?" jawab kakak perempuanku dengan malas. Kepalaku menoleh ke arah suara. Kakak perempuanku berdiri di depan pintu sambil membawa remote televisi. "ada apa?" ulangnya lagi yang melihat ekspresi aneh di wajahku. "AAAAA kamu apakan bukuku?"

Dia datang menghampiriku setelah melempar remote ke atas kasur. "itu.. itu tadi jatuh sendiri" aku mencoba memberitahu. Tapi ekspresi wajahnya mengatakan lain.

"mana mungkin jatuh sendiri" ujarnya dengan nada sedikit dinaikkan, "kamu ituu.. buku rengket kaya gini mana mungkin jatuh sendiri, kecuali ditendang" kakak perempuanku mengomel sambil membereskan buku-buku yang terjatuh.

"ma-maaf kak.. aku bantu beresin" aku mengembalikan buku-buku tersebut ke tempatnya.

"memang harusnya begitu" dia berhenti mengomel. Diambilnya hair dryer dari laci lemari. Kemudian mengeringkan rambut panjangnya yang ikal.

Siapa tadi? Aku melirik ke jendela dengan perasaan was-was. Tadi ada sebuah punggung yang mengenakan kaos berkerah berwarna biru gelap. Itu tidak mungkin kakak perempuanku. Dia pake daster berwarna pink. Secepat itukah dia ganti baju?

"kaak.." panggilku lirih. Kakak perempuanku hanya menoleh. "temen-temen kakak pulang jam berapa?"

"hmm.." dia mengangkat kepalanya, "sekitar jam 8 mungkin. Kadang jam 10 baru pada pulang. Kenapa?"
Aku menggeleng. "kita di sini cuma berdua kan kak?"

Kakak perempuanku tidak mengerti maksud ucapanku. "maksudmu? kamu jangan membuatku takut.."

Friday, 1 November 2013

Aku berlari menyusuri koridor rumah sakit. Mungkin ini bukan tindakan yang terpuji. Mengingat banyak peringatan untuk tidak berlari di koridor rumah sakit. Tapi ada hal yang harus aku sampaikan ke ibuku yang bekerja sebagai seorang suster di rumah sakit yang terbilang mewah itu. Itu juga bukan alasan yang membuatku bertindak seenaknya seperti ini.

Aku masih berlari. Ruang tempat ibuku beristirahat, ketika jam makan siang, masih satu belokan diujung sana. Kewaspadaanku menjadi menurun setelah menabrak seorang pria berusia 40 tahun yang saat itu sedang berdiri di tengah koridor. Aku membungkuk meminta maaf kemudian melanjutkan untuk pergi ke tempat ibuku. Dan lagi-lagi aku menabrak seorang gadis yang tiba-tiba muncul dari belokan. Tubuhnya yang kecil membuat gadis itu sedikit terpental. Bunga-bunga yang dibawanya jatuh berhamburan.

"ah maaf.." aku mendekatinya. Mengulurkan tangan, membantunya berdiri. Setelah kupastikan dia berdiri dengan benar, aku memungut bunga-bunga yang jatuh disekitarnya. "kamu tidak apa-apa?" tanyaku sambil menyerahkan bunga-bunga tersebut.

Gadis itu mengangguk. Ia menata bunga-bunga tersebut didekapannya. Meski ada beberapa bunga yang mahkotanya rontok.

"maaf ya, aku buru-buru" aku menundukkan kepala dan pergi dari hadapannya.


Flower For You


Beberapa hari ini, aku selalu menghampiri ibu setiap jam pulang sekolah. Menunggunya selesai bekerja. Dan pulang bersama-sama. Seharusnya ini menjadi tugas ayah. Namun seminggu yang lalu, ayah ditabrak sebuah mobil. Ya, untungnya tidak parah. Butuh waktu sekitar sebulan untuk penyembuhan. Sejak itu, tugas menjemput ibu menjadi salah satu tugasku.

Ibu sering menyuruhku bermain dengan teman-teman sambil menunggu dirinya selesai bekerja. Rumah sakit bukan tempat yang nyaman, katanya. Memang benar. Bau obat-obatan yang menyengat, bau orang-orang sakit, bau anyir darah. Belum lagi suara sirine ambulan, suara orang teriak kesakitan, suara tangis orang-orang terdekat. Untung saja aku tahan, kalau tidak mungkin sudah dari kemarin aku menolak menunggu ibu bekerja.

Rumah sakit tempat ibu bekerja sedikit berbeda dengan rumah sakit lainnya. Terdapat 3 bangunan utama. Bangunan paling depan digunakan untuk tempat praktik dokter-dokter, mendaftarkan diri sebagai pasien, dan juga apotek. Bangunan kedua, yang terletak disebelah kiri bangunan utama, digunakan untuk ruang UGD maupun IGD, beberapa ruang rawat inap. Untuk menuju ke bangunan ketiga, ada sebuah jalan dengan atap berbentuk setengah lingkaran. Jalan tersebut berada ditengah-tengah kebun bunga. Sebuah pohon besar berusia puluhan tahun, berdiri kokoh di kebun itu. Pohon kokoh lainnya pun tumbuh ditengah-tengah bangunan ketiga yang berbentuk segiempat, yang merupakan ruang rawat inap. Di tengah bangunan ketiga itu, dibentuk sebuah kebun yang dihiasi bunga-bunga indah. Melihat kebun itu, aku selalu lupa kalau aku saat ini berada di rumah sakit.

Setelah menemui ibu, aku minta ijin mengelilingi rumah sakit. Kerjaanku selama di rumah sakit. Ruangan tempat ibu beristirahat berada di bangunan ketiga lantai 1. Bangunan ini yang paling besar, terdiri dari 5 lantai. Di bagian pintu masuk, dipasang 2 pintu kaca besar yang dapat terbuka sendiri. Ketika masuk ke dalam, sebuah tempat informasi dibuat ditengah-tengah ruangan. Kalau saja bangunan ini terpisah dari kedua bangunan itu, mungkin banyak orang akan menyangka kalau bangunan ini sebuah hotel.

Meski beberapa hari ini aku selalu saja ke kebun bunga di tengah bangunan itu, aku tidak pernah merasa bosan. Suasana yang diberikan kebun itu sungguh menenangkan. Ditambah lagi dengan desain yang memukau, sulit untuk dikatakan dengan kalimat. Aku tidak tahu siapa yang mendesain dan membuat kebun ini. Jika aku bertemu dengannya, aku akan sangat berterima kasih. Baru kali ini aku melihat kebun seindah ini. Di rumah sakit.