Aku berlari menyusuri koridor rumah sakit. Mungkin ini bukan tindakan yang terpuji. Mengingat banyak peringatan untuk tidak berlari di koridor rumah sakit. Tapi ada hal yang harus aku sampaikan ke ibuku yang bekerja sebagai seorang suster di rumah sakit yang terbilang mewah itu. Itu juga bukan alasan yang membuatku bertindak seenaknya seperti ini.

Aku masih berlari. Ruang tempat ibuku beristirahat, ketika jam makan siang, masih satu belokan diujung sana. Kewaspadaanku menjadi menurun setelah menabrak seorang pria berusia 40 tahun yang saat itu sedang berdiri di tengah koridor. Aku membungkuk meminta maaf kemudian melanjutkan untuk pergi ke tempat ibuku. Dan lagi-lagi aku menabrak seorang gadis yang tiba-tiba muncul dari belokan. Tubuhnya yang kecil membuat gadis itu sedikit terpental. Bunga-bunga yang dibawanya jatuh berhamburan.

"ah maaf.." aku mendekatinya. Mengulurkan tangan, membantunya berdiri. Setelah kupastikan dia berdiri dengan benar, aku memungut bunga-bunga yang jatuh disekitarnya. "kamu tidak apa-apa?" tanyaku sambil menyerahkan bunga-bunga tersebut.

Gadis itu mengangguk. Ia menata bunga-bunga tersebut didekapannya. Meski ada beberapa bunga yang mahkotanya rontok.

"maaf ya, aku buru-buru" aku menundukkan kepala dan pergi dari hadapannya.


Flower For You


Beberapa hari ini, aku selalu menghampiri ibu setiap jam pulang sekolah. Menunggunya selesai bekerja. Dan pulang bersama-sama. Seharusnya ini menjadi tugas ayah. Namun seminggu yang lalu, ayah ditabrak sebuah mobil. Ya, untungnya tidak parah. Butuh waktu sekitar sebulan untuk penyembuhan. Sejak itu, tugas menjemput ibu menjadi salah satu tugasku.

Ibu sering menyuruhku bermain dengan teman-teman sambil menunggu dirinya selesai bekerja. Rumah sakit bukan tempat yang nyaman, katanya. Memang benar. Bau obat-obatan yang menyengat, bau orang-orang sakit, bau anyir darah. Belum lagi suara sirine ambulan, suara orang teriak kesakitan, suara tangis orang-orang terdekat. Untung saja aku tahan, kalau tidak mungkin sudah dari kemarin aku menolak menunggu ibu bekerja.

Rumah sakit tempat ibu bekerja sedikit berbeda dengan rumah sakit lainnya. Terdapat 3 bangunan utama. Bangunan paling depan digunakan untuk tempat praktik dokter-dokter, mendaftarkan diri sebagai pasien, dan juga apotek. Bangunan kedua, yang terletak disebelah kiri bangunan utama, digunakan untuk ruang UGD maupun IGD, beberapa ruang rawat inap. Untuk menuju ke bangunan ketiga, ada sebuah jalan dengan atap berbentuk setengah lingkaran. Jalan tersebut berada ditengah-tengah kebun bunga. Sebuah pohon besar berusia puluhan tahun, berdiri kokoh di kebun itu. Pohon kokoh lainnya pun tumbuh ditengah-tengah bangunan ketiga yang berbentuk segiempat, yang merupakan ruang rawat inap. Di tengah bangunan ketiga itu, dibentuk sebuah kebun yang dihiasi bunga-bunga indah. Melihat kebun itu, aku selalu lupa kalau aku saat ini berada di rumah sakit.

Setelah menemui ibu, aku minta ijin mengelilingi rumah sakit. Kerjaanku selama di rumah sakit. Ruangan tempat ibu beristirahat berada di bangunan ketiga lantai 1. Bangunan ini yang paling besar, terdiri dari 5 lantai. Di bagian pintu masuk, dipasang 2 pintu kaca besar yang dapat terbuka sendiri. Ketika masuk ke dalam, sebuah tempat informasi dibuat ditengah-tengah ruangan. Kalau saja bangunan ini terpisah dari kedua bangunan itu, mungkin banyak orang akan menyangka kalau bangunan ini sebuah hotel.

Meski beberapa hari ini aku selalu saja ke kebun bunga di tengah bangunan itu, aku tidak pernah merasa bosan. Suasana yang diberikan kebun itu sungguh menenangkan. Ditambah lagi dengan desain yang memukau, sulit untuk dikatakan dengan kalimat. Aku tidak tahu siapa yang mendesain dan membuat kebun ini. Jika aku bertemu dengannya, aku akan sangat berterima kasih. Baru kali ini aku melihat kebun seindah ini. Di rumah sakit.

Aku berjalan dipinggiran koridor. Angin dari pohon besar itu menerpa wajahku lembut. Beberapa daunnya ikut terbang tertiup angin. Disepanjang pinggiran koridor, kursi roda-kursi roda yang digunakan untuk membantu para manula, berjejer rapi. Ya, waktu sore seperti ini biasanya para suster membiarkan para manula menikmati hembusan angin sepoi dan keindahan kebun itu. Dari pada membiarkan mereka menonton acara gosip yang sepanjang hari diputar di televisi. Biar pun demikian, mereka tetap saja membahas tentang berita gosip tersebut.

Seorang gadis kecil mengenakan pakaian berwarna biru muda, pakaian pasien, masuk ke dalam kebun. Kaki kecilnya yang tanpa alas itu, menginjak batu pijakan satu-satu sambil melompat. Kemudian mendekati sekumpulan bunga dan memetik beberapa bunga. Dipeluknya bunga-bunga beraneka warna itu. Berharap tidak jatuh karena angin. Para manula yang duduk dipinggiran tersenyum-senyum melihat gadis kecil itu. Beberapa dari mereka melambaikan tangan ke arah gadis itu. Dan gadis itu balas melambai sambil tersenyum lebar. Wajah cerianya membuat para manula mengingatkan pada cucu mereka.

Aku berjalan menghampiri gadis itu. Bukan, bukan untuk kenalan. Aku hanya penasaran siapa gadis, yang kutabrak di koridor waktu itu. Padahal tidak jauh dari tempat dia berdiri ada papan peringatan bertulis "dilarang memetik". Tapi gadis itu dengan wajah cerianya mengabaikan peringatan itu. Tukang kebun yang kebetulan sedang menyapu kebun hanya tersenyum-senyum melihat gadis itu. Begitu pun dengan suster-suster yang lewat. Mereka membiarkan gadis itu memetik bunga sesuka hatinya. Apakah anak itu punya ijin khusus? Apakah dia anak pemilik rumah sakit? Atau anak pejabat? Atau... ah kenapa aku begitu penasaran?

Gadis itu tetap tidak sadar saat aku berdiri di sebelahnya. Sepertinya bunga-bunga itu membawa jiwanya ntah kemana. Aku membungkukkan badan, sementara dia mulai berdiri.

"halo dik..." sapaku ramah. Kulihat dari gerakan badannya yang spontan berbalik kearahku. Terkejut. Bunga-bunga dipelukannya hampir jatuh. Aku memasang senyum ramah. Aku tidak peduli tanggapannya tentang senyumku ini.

Gadis itu menggumamkan sesuatu. Suaranya hanya sebagian kecil yang terdengar. "i-iyaa.."

Aku berpikir cepat. Pertanyaan atau kalimat apa yang selanjutnya harus kuucapkan. Akhirnya aku hanya bisa menanyakan pertanyaan itu. "nama adik siapa?"

Wajahnya terlihat ketakutan. Ntah apa yang ada dibayangannya tentangku. Seorang laki-laki tiba-tiba menghampirinya menanyakan namanya. Memang aneh dan patut dicurigai. Aku jadi merasa seperti penjahat yang ada di film-film. Atau mungkin lebih parahnya, pedofil.

"ahahaha jangan takut begitu.. kakak bukan penjahat kok" aku berusaha meyakinkannya. Terdengar dia menghela napas. Sepertinya apa yang aku bayangkan sama seperti yang dibayangkannya.

"ha-hana.. namaku.. hana"

Esok harinya, diwaktu yang sama...

Seperti biasa, sambil menunggu ibu selesai bekerja, aku berkeliling rumah sakit. Sesekali aku menengok ke arah kebun bunga. Berharap gadis kecil itu muncul. Tapi sejak tadi dia tak terlihat. Yang ada hanya tukang kebun yang sedang membersihkan kebun.

Aku menghampiri pria berusia 50 tahunan itu. Badannya kecil, tulang-tulang badannya terlihat jelas, namun pria itu nampak sehat. Sabit yang digunakannya untuk memangkas rumput diletakkannya ketika pria itu sadar aku berjalan menghampirinya.

"kamu yang kemarin ya anak muda?" tanyanya. Ingatannya itu membuatku terkejut. Aku mengangguk memberi jawaban. Sepertinya pria itu tahu apa yang akan kutanyakan.  "gadis itu...."

"bapak kenal gadis itu? Ah maksudku.." pria itu berhasil memancingku. Aku sedikit salah tingkah. Aku mencari cara agar salah tingkahku tidak diketahui pria itu.

"hahahaha" pria itu tertawa mendengarnya. Mungkin yang ditertawakannya adalah karena aku gampang terpancing. "kamu mencari gadis yang sering memetik bunga disini?" aku mengangguk-angguk, "kamarnya ada dilantai 3. Aku tidak tahu dikamar nomor berapa, tapi kamu pasti akan langsung mengetahui kamarnya"

Pria itu hanya memberiku senyum ketika aku mengucapkan terima kasih. Aku meninggalkannya dan menuju ke lantai 3. Di rumah sakit ini disediakan 3 pilihan untuk ke lantai berikutnya. Tangga, lift, dan jalan untuk kursi roda. Aku memilih menggunakan tangga. Tidak banyak pengunjung yang menggunakan tangga. Mereka lebih memilih menggunakan lift. Ya tentu saja. Siapa sih yang mau capek? Mungkin hanya orang bodoh sepertiku yang mau capek.

Di lantai 3 gedung ketiga. Pohon besar yang tumbuh di kebun itu terlihat jelas. Daun-daun, ranting-ranting, bahkan beberapa burung yang membuat sarang terlihat. Lagi-lagi mengagumkan! Menurutku, di lantai 3 ini yang paling sejuk dari 5 lantai lainnya.

Setelah beberapa saat terpesona, aku sadar dan langsung mencari kamar gadis itu. Hana. Teringat kata-kata pria itu "..kamu akan langsung menemukannya". Aku rasa kata-katanya benar. Bau wangi dari berbagai bunga tercium dari salah satu ruangan. Ruangan itu berada di depan batang pohon besar itu.

Karena pintu ruangan itu terbuka, aku memberanikan diri masuk. Aku sempat terdiam melihat ruangannya untuk beberapa saat. Dipikiranku saat itu, ini kamar? Dinding kamar itu seperti ditumbuhi bunga-bunga. Bahkan aku tidak tahu warna asli dari dinding itu. Bunga-bunga beraneka warna menghiasi kamar itu. Tidak hanya di dinding, di meja pun vas berjejer dengan rapi. Di atas kasur kelopak-kelopak bunga bertaburan. Seperti kasur pengantin baru. Di lantai pun demikian. Aku tidak dapat melangkah lebih jauh. Kulihat Hana tidur di atas kasurnya.

Ini hari kelima semenjak aku kenal dengan Hana. Dia gadis yang ceria. Wajahnya selalu menebar senyum dan tawa. Suaranya yang memang kecil dan sedikit serak, membuatnya semakin imut. Tapi kebiasaannya yang memetik bunga tidak berubah. Hari ini pun aku menemaninya memetik bunga di kebun. Dan aku terpaksa mengiyakan ketika ia bertanya apakah aku akan membantunya memetik bunga.

Setelah semua bunga yang hari ini mekar berhasil dipetiknya, dibawanya ke kamarnya. Aku menawarinya untuk naik lift karena kulihat wajahnya kelelahan. Tapi dia menggeleng. Dia ingin naik tangga. Sebagai kakak yang baik, aku menuntunnya perlahan.

Aku membantu menghiasi kamarnya dengan bunga-bunga. Wajahnya terlihat gembira setiap ada bunga baru di kamarnya. Hari ini bunga yang di dapatnya tidak sebanyak hari-hari kemarin. Mungkin karena sebentar lagi musim gugur. Sebagian besar bunga yang ada di kamarnya mulai layu. Bahkan ada yang sudah menghitam dan kering. Aku belum sempat menanyakan kebiasaannya ini -lebih tepatnya hobi. Yang membuatku penasaran, sakit apa dia? Tidak ada seorang pun yang datang menjenguknya kecuali para suster dan.. tentu saja aku.


Hari kedelapan aku bertemu dengan Hana.
Kami duduk di sebuah bangku dekat kamar inapnya. Menikmati hembusan angin dari pohon besar itu. Hana menyandarkan badan mungilnya ke bangku. Terlihat pancaran wajahnya yang letih. Aku berkali-kali menanyakan keadaannya. Dan jawabannya selalu sama, tidak apa-apa.

Sudah beberapa menit lewat tanpa ada obrolan. Hana tipe orang yang akan berbicara jika ada orang yang berbicara dengannya. Sedang aku, hanya bisa diam memikirkan apa yang harus kubicarakan dengannya. Dengan gadis yang usianya jauh dibawahku. Mungkin aku harus meminta saran ke pedofil, bagaimana cara mendekati anak-anak. Ah mikir apa sih aku ini.


"hana, kakak penasaran nih, kenapa hana suka metik bunga?" akhirnya pertanyaan itu keluar. Dari awal aku bertemu dengannya, aku ingin tahu jawabannya. Dan kebiasaannya yang menaruh bunga di kamarnya.


Hana bingung. "Hana suka bunga. Suka banget" jawabnya dengan polos. Aku hanya tersenyum mendengar jawabannya. "Hana tidak mau bunga-bunga itu layu" wajahnya berubah sedih. Seperti mengerti apa yang dirasakan bunga-bunga. "tapi..." hana melanjutkan, "Hana tidak tahu kenapa mereka tetap layu. Tetap mati"


Aku mengelus kepala mungilnya. "karena Hana memetiknya. Memetik mereka dari rumahnya. Pasti sedih kalau dipaksa pergi dari rumahnya"


Hana terlihat kebingungan mendengar penjelasanku. "rumah?"


"iyah rumah. Tempat kamu tinggal bersama dengan orang yang kamu sayangi dan yang menyayangimu"


Hana lebih kebingungan. "Hana tidak punya tempat seperti itu"


Aku tertawa mendengarnya. Menganggap pernyataan Hana sebuah candaan. "Hana bisa saja bercanda. Masa ga punya rumah?"


"Hana tidak tahu rumah itu apa. Yang Hana tahu, Hana suka berada disini. Semua orang baik. Termasuk kakak" Hana tersenyum lebar, meski wajahnya nampak letih.


Dia berusaha berdiri. Berjalan mendekati tembok pembatas. Melihat jalannya yang sempoyongan, aku berdiri di belakangnya. Dia sedikit menjitjitkan kaki untuk dapat melihat ke bawah.


"Hana ingin menolong bunga-bunga itu. Hana ingin bunga-bunga itu tetap mekar"