Siapa Disana?
Sesekali mainlah ketempat kakakmu.Sms yang dikirim ibu kepadaku 3 hari yang lalu masih teringat di kepalaku. Meski pun sms itu sudah aku hapus dari inbox. Tapi setiap kali ibu menelponku, kalimat itu selalu meluncur di akhir sebelum telpon ditutup.
Aku kuliah di kota yang sama dengan tempat kakak perempuanku bekerja. Awalnya kakak perempuanku menawariku untuk tinggal bersama dengannya di kontrakannya. Dia tidak tinggal sendiri. Ada 3 orang seusianya yang tinggal bersamanya.
Setelah pulang kuliah, aku datang mengunjungi kakak perempuanku. Untungnya hari ini dia pulang kerja lebih awal. Aku sampai di kontrakannya sekitar pukul 4 sore. Hanya ada sepeda motor milik kakak perempuanku di garasi. Aku memarkir motor kesayanganku di sebelah motornya.
Kontrakan kakak perempuanku cukup besar. Ada 4 buah kamar tidur di dalamnya. Semua perabotan dan peralatan dapur telah disediakan oleh si pemilik. Ini kali kedua aku datang kemari.
Langit yang mendung, bahkan gelap, membuat lampu jalan dinyalakan lebih awal. Salah satu lampu jalan terletak persis di depan kontrakan kakak perempuanku. Sehingga rumah kontrakan yang ada di depanku, yang lampunya masih mati, terlihat tidak begitu menyeramkan.
Lampu dari dalam ruangan mulai menyala satu per satu. Begitu pun dengan lampu teras. Lampu berwarna putih itu menempel di plafon teras. Meskipun terang, ada kesan redup. Sesekali lampu itu berkedip-kedip kemudian mati. Dan akan menyala kembali setelah beberapa saat. Apa tidak diganti? Kemudian terdengar suara langkah kaki mendekati pintu. Kakak perempuanku yang terbalut baju mandi berdiri di seberang.
"kakak!" teriakku terkejut. Meski badannya belum basah, tapi wajah dan rambutnya sudah terkena air.
"aku lagi mandi. Kamu nunggu di kamar aja ya" katanya kemudian lari kembali masuk ke dalam kamar mandi.
Aku melepas sepatu. Kulihat langit mulai menjatuhkan kesedihannya. Semoga cepat reda, pikirku. Titik-titik hujan membasahi teras. Angin yang datang bersama hujan mengarah ke teras, membuat sepatuku basah. Sebelum benar-benar basah aku mengangkatnya. Menaruhnya di dalam. Aku menutup pintu depan.
Ruang tamu. Satu kursi empuk panjang untuk 4 orang, dan 2 kursi kecil untuk 1 orang. Sebuah meja panjang sepanjang kursi panjang. Beberapa toples tanpa isi berdiri malas diatasnya. Lukisan beberapa kuda yang sedang lari menggantung di belakang kursi panjang. Tidak ada yang berubah dari 2 tahun yang lalu.
Ada sebuah tembok yang membagi antara ruang tamu dan ruang menonton televisi. Aku berjalan menuju sebuah televisi berukuran 21 inch. Masih menyala dan menampilkan acara komedi. Di bagian kanan ada 2 kamar berukuran 4 x 3 meter, yang salah satunya kamar kakak perempuanku. Kemudian ada dapur yang menjorok ke dalam. Di bagian kiri ada sebuah kamar berukuran sama yang sedang ditinggal penghuninya. Di sebelahnya -di depan kamar kakakku- sebuah kamar mandi kecil, yang saat ini sedang digunakan oleh kakakku. Ada sebuah kamar yang tidak digunakan, tepat di depan dapur. Seandainya aku dulu mengiyakan permintaan kakak untuk tinggal disini, kamar itu milikku. Karena tidak ada yang mau menggunakannya, kamar itu menjadi tempat sholat. Tapi ntah sejak kapan kamar itu berubah jadi gudang.
Aku masuk ke dalam kamar kakak. Menaruh tas dan duduk di atas tempat tidur. Aku hanya mendengar suara tawa dari acara komedi di televisi, dan suara hujan yang membentur seng penutup tempat jemuran. Dari kamar kakak, tempat jemuran dapat terlihat jelas. Jendela kamar yang dipilih kakak langsung menghadap ke tempat jemuran. Di dekat jendela ada rak buku bertumpuk yang berisi buku koleksi kakak. Semua tertata dengan rapi. Untuk mengambilnya saja butuh tenaga.
Aku tiduran di atas kasur. Memainkan handphone. Kudengar kakak perempuanku sudah selesai mandi. Acara komedi di televisi berubah menjadi acara gosip. Aku meregangkan badan. BRUK! Aku menoleh. Buku-buku di rak buku kakak jatuh berhamburan.
Angin? Atau tanganku? Aku tidak merasa tanganku mengenai rak buku ketika meregangkan badan tadi. Anginkah? Aku melihat jendela. Tertutup. Bahkan korden tipis itu pun tidak menunjukkan adanya angin yang lewat. Siapa disana? Terlihat punggung seseorang dibalik jendela. "kaaak?" panggilku memastikan.
"kenapaa?" jawab kakak perempuanku dengan malas. Kepalaku menoleh ke arah suara. Kakak perempuanku berdiri di depan pintu sambil membawa remote televisi. "ada apa?" ulangnya lagi yang melihat ekspresi aneh di wajahku. "AAAAA kamu apakan bukuku?"
Dia datang menghampiriku setelah melempar remote ke atas kasur. "itu.. itu tadi jatuh sendiri" aku mencoba memberitahu. Tapi ekspresi wajahnya mengatakan lain.
"mana mungkin jatuh sendiri" ujarnya dengan nada sedikit dinaikkan, "kamu ituu.. buku rengket kaya gini mana mungkin jatuh sendiri, kecuali ditendang" kakak perempuanku mengomel sambil membereskan buku-buku yang terjatuh.
"ma-maaf kak.. aku bantu beresin" aku mengembalikan buku-buku tersebut ke tempatnya.
"memang harusnya begitu" dia berhenti mengomel. Diambilnya hair dryer dari laci lemari. Kemudian mengeringkan rambut panjangnya yang ikal.
Siapa tadi? Aku melirik ke jendela dengan perasaan was-was. Tadi ada sebuah punggung yang mengenakan kaos berkerah berwarna biru gelap. Itu tidak mungkin kakak perempuanku. Dia pake daster berwarna pink. Secepat itukah dia ganti baju?
"kaak.." panggilku lirih. Kakak perempuanku hanya menoleh. "temen-temen kakak pulang jam berapa?"
"hmm.." dia mengangkat kepalanya, "sekitar jam 8 mungkin. Kadang jam 10 baru pada pulang. Kenapa?"
Aku menggeleng. "kita di sini cuma berdua kan kak?"
Kakak perempuanku tidak mengerti maksud ucapanku. "maksudmu? kamu jangan membuatku takut.."
Akhirnya kami mengobrol seperti biasa. Aku menceritakan tentang hari-hari yang kulewati di kampus maupun di kos. Kakak perempuanku menganggapinya dengan menceritakan kehidupannya dulu di kampus.
Jam menunjukkan pukul 7 malam. Suara hujan sudah tidak terdengar lagi. Hanya suara angin yang menerpa jendela kamar kakak perempuanku.
"aku lapar kaak.." aku mengelus perut yang berbunyi.
"hanya ada mi instan. Mau?" aku mengangguk memberi jawaban. Kakak perempuanku yang sedang menghitung sesuatu, berdiri. Berjalan kearah laci di dekat pintu kamarnya. "adanya ini. Kamu buat sendiri ya.. aku lagi sibuk ngitung keuangan"
Aku mengambil 2 bungkus mi instan, lalu menaruhnya di dapur. Sebelum memasaknya, aku pergi ke kamar mandi. Dari kamar mandi, terdengar suara seseorang menyalakan kompor. Kakak mungkin, pikirku.
Keluar dari kamar mandi, aku melihat seseorang sedang berdiri di dapur. Memunggungiku. Siapa?
"kaaak..." panggil lirih, tapi berulang-ulang.
Kakak perempuanku melongok keluar. Dari kamar mandi, aku dapat melihat dapur dan kamar kakakku. Karena ruang dapur yang menjorok ke dalam, kakak perempuanku tidak dapat melihat apa yang ada di dapur.
"ada apa?" tanya kakakku yang melihat ekspresi wajah anehku.
"a--a---" aku tidak tahu apa yang harus aku sampaikan. Aku melihat kearah dapur dan kakakku bergantian. Yang sedang berdiri di dapur itu mengenakan pakaian yang sama dengan punggung yang muncul di jendela kamar kakak. Aku melihatnya. Dia sama sekali tidak menoleh.
Kakak perempuanku berjalan kearahku. Memastikan apa yang aku lihat sehingga ekspresiku menjadi aneh. Sosok di dapur itu menoleh sedikit. Memperlihatkan senyum di wajahnya. Sekali lagi aku menoleh kearah kakak, kemudian kearah dapur. Dan sosok itu hilang. AAAAAAA!!
"ada apa sih?" kakakku yang telah sampai di depan kamar mandi, langsung melihat kearah dapur. Kemudian melihatku dengan wajah bingung.
"aku pulang aja ya kaak" pintaku tiba-tiba. Aku berlari ke kamar kakak, memasukkan barang-barangku.
"loh kenapa? bukannya tadi mau makan dulu?" tanya kakakku heran. Aku menggeleng keras. "yaudah deh, hujannya juga udah berhenti"
Aku berdiri di depan pintu kontrakan kakak. Mengatur detak jantung yang beberapa saat berdetak melebihi normal. Apa itu tadi? Siapa itu? Yang aku pikirkan sekarang, pulang ke kos!
"maaf ya kaak.." kataku sambil membunyikan motor.
"gapapa.. kamu sih kenapa jadi aneh gitu?" tanya kakakku penasaran.
Aku hanya diam. Apa jadinya kalau aku cerita ke kakakku yang penakut ini? "ga ada apa-apa kok kaak"
Tiba-tiba suara motor datang mendekat. Salah seorang teman kontrakan kakak datang. Entah kenapa aku merasa lega. Akhirnya aku pamit pulang. Aku melajukan motor mencapai gerbang. Untuk terakhir, aku menoleh ke arah kontrakan. Kakak perempuanku dan temannya melambaikan tangan. Aku membalas dengan tersenyum dan membunyikan klakson. Tapi.. jauh di belakang mereka, sosok yang ada di dapur tadi, berdiri. Darah menutupi wajahnya. Aku langsung melajukan motor dengan kencang.
0 comments:
Post a Comment