"tolong besok ke sini ya dik"
Aku memenuhi permintaan itu dan datang ke rumahnya. Aku tidak bisa menolak karena ini permintaan orang tuanya. Akhir-akhir ini aku memang sering mengunjunginya. Orang tuanya, terutama ibunya, terlihat antusias untuk menyuruhku mampir.
The Last Day
Dari kejauhan terlihat seorang wanita dengan pakaian rapi berdiri di depan sebuah rumah. Aku langsung mengenalinya, itu ibunya. Setelah memarkir motor, aku mendekati beliau.
"Selamat siang, tante.." aku merendahkan kepala dan menyalami tangannya.
"Siang.." ibunya tersenyum. Dandanan di wajahnya tidak dapat menyembunyikan raut mukanya yang sedih.
"Maaf menyuruh dik Adit kesini. Kemarin Vidi bilang kalau dia mau ketemu sahabat-sahabatnya buat pamitan. Sebenarnya tante mau saja nemenin dia, tapi tante takut kalau dia malah malu dan merasa tidak bebas. Tante mau dik Adit yang nemenin dia"
"Oh iya, tidak apa-apa kok tante" aku menyanggupi. Lagipula aku sudah sering menemaninya kemana-mana. "Tapi apa Vidi tidak apa-apa kalau keluar?"
"Itulah yang tante raguin. Tapi dari kemarin dia ngotot mau keluar. Ya sudah, tante iyain aja. Tapi kalau dik Adit bisa ngelarang dia ya bagus. Anaknya ada di dalam, ke dalam saja. Tante mau pergi dulu. Jangan pulang terlalu sore ya.."
"Iya tante.."
Mobil berwarna silver itu pun melaju. Aku masuk ke dalam rumah setelah memastikan mobil itu telah hilang dari pandangan.
"Assala---"
"Adiiitt!!!" teriak Vidi berlari keluar dan langsung memelukku. Daster yang dikenakannya mengayun indah.
"Ya ampun kamu itu.." aku menggeleng. Melepas pelukannya dan menyentil pelan dahinya. "Aku disuruh ibumu nganterin kamu ke rumah teman-teman. Gapapa emang?"
"Gapapaaaa, lagian mama juga ngebolehin kok" dia mengalihkan pandangan, sambil memasang wajah cemberut.
"Itu karna kamunya yang ngotot. Memangnya mau ngapain?"
"Mau ketemu trus mau pamitan ke mereka" jawabnya dengan nada datar, sedih.
"Pamitan?" dia mengangguk, "Ga usah aja ya, hari ini di rumah aja, istirahat"
"Ga mau! Mau pergi pokoknya. Kalo ga aku pergi sendiri aja"
Aku menarik napas panjang. Mustahil membuatnya tidak pergi. "Yaudah deh, ayo pergi. Tapi cuma sampai sore loh. Sana ganti baju.."
Akhirnya aku menemani tuan putri yang keras kepala ini keliling. Pertama, mengunjungi teman yang dikenalnya saat pendaftaran SMP, bisa dikatakan kalau dia teman baik Vidi. Sejak beda sekolah, mereka jarang bertemu. Tapi komunikasi mereka tetap berjalan. Rumahnya paling jauh diantara teman-teman yang akan dikunjunginya.
"Vidi? Tumben kesini, ada apa?" dia terkejut, juga senang. "Loh ada Adit juga"
Vidi langsung lari memeluknya. Erat. "Secha.. aku sayang banget ama kamu"
Secha melihatku dengan pandangan bingung. Aku hanya mengangkat bahu. "Iya iya, aku juga sayang banget ama kamu kok, Vid. Ada apa sih? Diliat Adit tuh, malu ah"
"Hehe cuma pengen meluk aja kok. Udah lama kita ga ngobrol kan?"
"Hahaha iya juga sih. Mau ngobrol sekarang? Yuk masuk, itu Adit diajak masuk juga" tawarnya.
"Ga usah, aku buru-buru nih. Lain kali aja yah" lagi-lagi Vidi memeluk Secha. "Sampai ketemu lagiii...."
Melanjutkan perjalanan yang kedua. Kali ini ke rumah orang yang jadi teman sebangkunya waktu pertama kali masuk SMA. Meski tidak seakrab dan sedekat Secha. Selain teman sekelas, orang ini teman se-ekskul Vidi.
"Kenapa?" tanyaku.
"Orangnya ga ada di rumah" wajah Vidi berubah cemberut.
Aku tersenyum. "Kamu kan datangnya mendadak. Yaudah yuk, ke rumah yang lain. Masih banyak loh"
Sebenarnya tidak sebanyak itu. Sepuluh saja tidak ada. Awalnya dia memintaku untuk mengantarnya ke rumah semua teman-temannya yang dia tahu. Tapi aku langsung menolak. Mengingat untuk membawanya pulang lebih cepat. Jadi aku menyarankan untuk mengunjungi yang benar-benar dekat dengannya.
Ini kunjungan terakhir. Ke tempat teman masa kecilnya, Hendri. Pertama kali bertemu dengannya waktu ospek. Dan menjadi akrab karena teman satu prodi. Dari situ aku kenal dengan Vidi yang beda fakultas denganku.
"Jangan lama-lama, udah setengah lima nih" aku mengingatkan.
"Ga lama kok. Bawel ah.."
Vidi berdiri di depan rumahnya dan memanggil namanya. Tak lama Hendri keluar.
"Berisik.." ucapnya begitu melihat Vidi.
"Ih gitu banget.." Vidi memukul-mukul pundak Hendri.
"Loh ada Adit" dia melihatku yang duduk di motor dan melambaikan tangan, "Sini woy!"
"Aku yang nyamperin, malah Adit yang dipanggil"
"Lah Adit kan teman aku. Lagian ada apa kesini sore-sore? Biasanya sms dulu kalo mau datang"
"Mendadak nih.." Vidi beralasan.
"Dia mau pamitan" aku memberitahu.
"Pamitan? Mau kemana emang?" wajah Hendri bertanya-tanya.
"Aku mau pindah ehehehe" Vidi memperlihatkan wajah isengnya.
"Pindah kemana? Ibumu kok ga ke sini ngasih tau?" Hendri masih kebingungan. Ibu Hendri dan ibu Vidi sahabatan sejak SMA, begitu yang aku tahu. Yang aku bingung, kenapa ibu mereka tidak menjodohkan mereka?
"Mamaku sibuk. Lagian cuma aku yang mau pindah kok"
"Dia mau pindah kemana, Dit?" Hendri melihatku. Tidak percaya dengan ucapan Vidi.
"Hmm.. dia mau pindah yang jauh pokoknya" aku tidak tahu harus memberi alasan seperti apa.
Hendri merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Tapi dia tidak bertanya lebih lanjut.
"Eh, aku boleh meluk Hen--"
"Hah? Ngapain?" Hendri langsung menolak ketika melihat ancang-ancang Vidi.
"Tuh, dianya yang ga mau. Bukan aku loh yang melarang" aku sedikit terkejut dengan permintaannya. Untungnya Hendri langsung menolak.
"Ayolaaah... sekali aja. Ga bakal minta lagi deh" pinta Vidi.
"Dit, ini pacarmu kenapa?" Hendri kebingungan, "Kirain dengan pacaran ama Adit, anehmu bakal hilang"
"Boleh yaaa, aku meluk Hendri.." Vidi meminta persetujuan dariku.
"Anehnya malah makin menjadi, Dri. Yaudah sana dipeluk" sambil membuang napas, aku menepuk bahunya.
Vidi memeluknya. Pelukannya membuat semua ingatan masa lalu Hendri yang sering bersama Vidi, terbayang, kemudian hilang.
"Vidi.." panggilku, "Ayo pulang, udah sore"
"Maaf ya, Dri, hehehe. Sampai ketemu lagii....." Vidi cengengesan.
"Kita pulang dulu ya, Dri. Udah sore, ibunya bilang jangan pulang terlalu sore" aku pamitan.
Hendri mengangguk. "Dia memang ga boleh pulang malam. Anak mama sekali" dilihatnya Vidi yang jaraknya sudah menjauh, "Eh.. dia gapapakan? Tadi tangannya gemeteran gitu.."
Aku tersenyum. "Aku baru bisa jawab itu lusa. Daah"
Aku berjalan mendekati Vidi. Merangkul bahunya. Ketika dia mendongakkan kepala, darah mulai keluar dari hidungnya.
"Vidii!" aku mengambil tisu di tasnya, dan mulai melap hidungnya. Untungnya hanya sedikit darah yang keluar. "Ayo pulang!"
Ibunya belum pulang ketika aku sampai di rumahnya. Kulihat Vidi mulai kelelahan. Tangan dan kakinya gemeteran.
"Vidi? Kamu capek?" aku membantunya berjalan ke dalam rumah.
"Ng? Iya sedikit" Vidi berpegangan pada pintu. "Makasih ya udah nganterin. Seneng rasanya udah melukin mereka. Aku bakal kangen ama mereka. Ah, aku lupa. Kamu belum kebagian pel---"
"Ga usah. Biar aku aja yang meluk kamu" aku memeluk lembut badannya. Menempelkan pipiku ke kepalanya. Membelai rambutnya. Aku merasakan tangannya ada dipunggungku. Hingga akhirnya dia tidak sanggup untuk berdiri. Dan aku pun sadar, itu pelukan terakhir untukku.
Seminggu kemudian...
"Iya halo tante, ada apa ya?" aku menjawab telepon dari ibunya Vidi. Sudah seminggu sejak hari itu aku tidak mendengar kabar dari keluarganya.
"Tidak ada apa-apa. Tante cuma mau menawarkan barangkali dik Adit mau barang-barang Vidi. Mungkin sebagai kenang-kenangan. Kalau mau datang saja ke rumah ya"
"Terima kasih tante.. insya Allah lusa saya ke sana"
Barang-barang Vidi ya? Disini juga banyak. Aku mengambil bingkai foto yang berdiri di atas meja. Foto aku dan Vidi saat liburan di pantai. Aku merasa baru bulan kemarin foto tersebut diambil. Tapi nyatanya foto tersebut diambil Hendri 1 tahun yang lalu. Rasanya terlalu sebentar. Mataku tertuju ke sebuah kotak di sebelah meja. Kotak yang berisi barang-barang pemberian Vidi. Aku memasukkannya ke dalam kotak bukan berarti aku ingin membuangnya atau aku ingin melupakannya. Melihat barang-barangnya saja membuatku kembali teringat padanya. Vidi, apa yang harus aku lakukan?
0 comments:
Post a Comment