"Kita.. bubaran aja ya" ucapku. Ada sedikit jeda diantara kalimat tersebut yang membuatku tidak yakin dengan keputusanku sendiri.

Aku melihat ekspresi wajahnya yang datar. Mungkin dia sudah memperkirakan hal ini. Dia menunduk, menyembunyikan wajah. Terdengar tarikan napas sedih.

"Yaudah..." katanya dengan suara sedikit serak. "Dasar bodoh! Jeleeeek!! Bauu!!"


AmnesiA


Aku berdiri di depannya. Lokasi kami sedang berada di halaman parkir sebuah mall. Pikiranku kusut. Aku harus mengatakan hal itu. Ya harus! Harus hari ini. Meski aku tahu aku tidak akan tega mengatakannya. Tapi aku sudah menunda mengatakannya sejak sebulan lalu. Aku tidak yakin alasan ini akan diterima olehnya.

Aku melihatnya. Wajahnya itu yang selalu membuat niatku untuk mengatakannya gagal. Sekarang pun begitu. Niatku sudah turun 80 persen dan aku harus menaikkannya kembali. Dan itu tentunya tidak mudah.

"Ayo pulang" ajaknya sambil menarik tanganku.

"Tunggu.." kataku sambil berhenti berjalan. Aku merasa seperti sedang bermain di FTV. Dia menoleh melihatku. "Ada hal yang ingin aku katakan.."

Dia kebingungan. "Apa? Ngomongnya pas udah sampe rumah ajaa" pintanya seperti biasa. Wajahnya terlalu polos untuk kalimat kejam yang akan aku katakan.

Tapi... aku harus bisa mengatakannya!

"Kita.. bubaran aja ya" ucapku. Sedikit jeda diantara kalimat tersebut yang membuatku tidak yakin dengan keputusanku sendiri. Akhirnya aku mengatakannya.

Ada diam selama beberapa detik diantara kami. Ini membuatku tidak nyaman. Aku berkali-kali menarik napas untuk menenangkan diri. Hingga aku sadar udara disekitarku semakin tipis.

"Kenapa?" akhirnya dia menanyakan alasannya. "Aku bikin salah ya?"

Aku menggeleng cepat. Hubungan kami selalu baik-baik saja. Aku merasa bersyukur bisa mendapatkannya. "Lalu?" tanyanya lagi. Aku harus cepat menemukan alasan yang sudah kupersiapkan. Tapi disaat seperti ini alasan itu hilang bersama udara yang kuhembuskan.

"Aku ingin konsentrasi skirpsi" akhirnya itu yang keluar dari mulutku. Ah, bodohnya aku. Tolong tenggelamkan aku. Alasan macam apa itu? Aku sendiri tidak akan mau menerima alasan seperti itu. Kamu patut marah. Kamu patut menamparku.

"Cuma itu alasannya?" tanyanya tidak yakin. Dia menunggu, berharap aku mengatakan alasan yang lebih logis untuk diterima. Atau menunggu aku mengatakan hal yang sebenarnya.

"Iyah cuma itu alasannya"

Aku terdiam. Tidak tahu harus berbuat apa. Meski aku sudah berlatih mengucapkan kata itu, tapi aku tidak punya skenario setelah ini. Sepertinya aku harus mencari tutorial "cara memutuskan cewek" di google.

Haah. Dari pandangannya dia tahu aku menyembunyikan sesuatu. Sengaja menunggu agar aku menceritakan yang terjadi. Tapi tidak kali ini. Aku tidak bisa bilang padanya kalau ibunya datang ke kosku dan memintaku untuk menjauhimu. Hanya gara-gara aku, kamu dan ibumu berantem? Lebih baik aku yang mundur. Walau dengan cara yang konyol.

Aku melihat ekspresi wajahnya yang datar. Mungkin dia sudah memperkirakan hal ini sebelumnya. Dia menunduk, menyembunyikan wajah. Terdengar tarikan napas sedih.

"Yaudah..." katanya dengan suara sedikit serak. "Dasar bodoh! Jeleek!! Bauu!!"

Teriakannya membuat orang-orang menoleh ke arah kami. Terdengar bisik-bisik hingga cekikikan. Aku hanya senyum terpaksa ke arah mereka menandakan semua baik-baik saja.

Bau? Aku bau ya? Ah bukan saatnya memikirkan itu!

"Terserah kamu!" dengan sesenggukan dia pergi ke arah yang berlawanan. Kakinya dilangkahkan dengan cepat.

"Eh mau kemana? Biar aku anterin pulang" kataku dengan sedikit teriak. Aku berusaha menyusulnya dan berhasil meraih tangannya. "Ayo aku anterin pulang"

"Ga mau! Aku pulang sendiri aja!" dia melepas tanganku dengan sekali hentak. Dia menatapku tajam dengan mata coklatnya yang basah. "Dasar bodoh!"

Aku hanya bisa melihatnya pergi ke pinggir jalan. Melihatnya yang penuh kekecewaan terhadapku. Dan aku hanya bisa melihatnya yang tiba-tiba terserempet mobil.



Jari-jarinya mulai bergerak. Aku melepaskan genggamanku dan menaruh tangannya di atas perutnya. Aku melihat wajahnya yang putih itu semakin putih. Bibir mungilnya yang biasanya berwarna pink bersinar kini putih pucat. Dahi lebarnya yang selalu aku tepuk, terlilit perban.

Teringat kembali kejadian itu. Aku langsung berlari seperti orang kesurupan. Menembus lautan orang yang mengerumunimu. Kamu tergeletak di sana. Dengan kepala membentur pinggiran trotoar. Aku memelukmu. Menggoyang-goyangkan badanmu. Aku belum pernah merasa setakut dan sepanik ini.

Matanya perlahan terbuka. Dia memandang sekitar. Merasa asing. Setiap gerakan kecil yang mengubah posisi kepalanya, dia terpejam menahan sakit. Lalu matanya menangkap kehadiranku.

"An-da si-apa?" tanyanya lirih. Sopan.

Aku menahan sakit. Tidak pernah ada lelucon sesakit ini. Aku sudah siap dengan pertanyaan itu. Suster yang menanganinya mengatakan kalau dia terkena amnesia.

"Amnesia?" tanyaku tidak percaya. Ini sudah kedua kalinya aku menanyakannya pada suster. Aku sering melihatnya di sinetron yang ditonton ibu. Sekarang pacar-eh-mantan-eh dia mengalami itu?

"Iya mas, benturan di kepalanya cukup keras" suster hanya menjelaskan sampai situ. "Mas-nya tidak menghubungi keluarga?"

"Tolong, suster saja yang menghubungi" aku menyerahkan nomor telepon salah satu keluarganya.

Kembali ke tempat dia terbaring tanpa mengingat apa pun. Dia masih melihatku dengan penasaran. Aku sudah tahu apa yang harus aku katakan. Kata-kata itu tidak akan hilang lagi.

"Aku.." aku tersenyum sedih, "kebetulan aku orang yang membawamu ke sini"

Aku pacarmu yang tiba-tiba minta putus dan menyebabkan ini semua. Aku tidak mungkin mengatakan itu. Kalau tahu bakal seperti ini aku tidak akan mengatakan hal itu hari ini. Tapi ini mungkin rencana-Nya agar aku benar-benar bisa menjauhimu. Rencana yang membuatmu harus terbaring di sini, dan yang membuatku harus menyalahkan diriku terus.

"Te-rima ka-sih" dia tersenyum lemah.

"Aku harus pergi. Keluargamu sepertinya sudah datang. Cepat sembuh ya" kataku, mungkin untuk yang terakhir kali. Aku tersenyum dan melambaikan tangan. Lalu segera keluar. Tidak ingin bertemu dengan keluarganya.

Orang yang pisah dengan pacar biasanya akan bahagia jika hubungan mereka tidak baik. Tapi tidak untukku. Hubungan yang baik-baik saja harus diakhiri karena masalah sepele. Aku yang memutuskanmu, bukannya bahagia atau lega, tapi aku menyesal.


Sesaat setelah aku pergi,
"Aku lupa menanyakan namanya" pikirnya.